Minggu, 25 September 2016

PART OF ME



Ketika kuncup bunga yang tak sanggup lagi memekarkan kelopaknya
Mendung yang kian enggan meneteskan hujan
Hingga matahari tak sanggup lagi menerangi indahnya dunia
Bahkan ketika tak ada satupun orang yang mampu menggenggam lembut tangaku
Aku yakin engkau selalu berada disisiku, ibu…

            Satu hal kecil yang aku irikan dari orang lain yang berada di sekitarku bukan mengenai bagaimana proporsional tubuh mereka, cantik wajahnya atau bahkan kulitnya yang mulus bak lady Diana atau bahkan kecantikan mereka yang mengalahkan Cleopatra. Bukan tentang hal yang menonjolkan fisik, atau gaya hidup mereka yang mewah tanpa kekurangan apapun, Bukan! Aku sangat iri ketika mereka menyinggung mengenai keluarga. Bagaimana tidak iri ketika mereka menceritakan mengenai keluarga kecil mereka yang sangat bahagia, Menceritakan bagaimana dekatnya mereka kepada ayahnya dan bermanja-manja ria dengan sang ayah, bagaimana mereka saling berkeluh kesah dan mengadu kepada ibunya mengenai adiknya yang luar biasa menyebalkan, namun saat berjauhan mereka saling merindukan satu sama lain. Ah... Aku benar benar iri.
            Jika kalian bertanya padaku ‘apakah aku tidak bahagia?’ aku akan menjawabnya dengan lantang bahwa aku sangat bahagia, Jika kalian masih bertanya ‘kenapa aku masih iri dan bersedih mengenai keluarga orang lain?’ Aku tidak akan menjawabnya! Aku berharap luka yang aku tanggung, perih yang aku rasakan, iri yang aku pendam hanya aku yang mengetahuinya. Aku tidak mengerti bagaimana orang lain bisa merasa dekat satu sama lain dengan menceritakan mengenai apapun tanpa sehelai batas, benar-benar tidak masuk akal! Pertemenan mereka benar benar membuatku takut, bagaimana tidak! Hal yang paling aku takutkan adalah ketika ada orang-orang yang tidak dekat denganku dan entah mereka mencoba dekat denganku atau apa, aku juga tidak mengerti. Namun mereka mencoba dekat denganku dan mencercaku dengan menanyakan hal kecil mengenai ‘keluarga’. Hal yang sangat membuatku takut! hal yang membuat jantungku berdebar sangat cepat, dan membuatku sangat takut menjawab setiap pertanyaan dari mereka.
            Aku terlahir dari keluarga kecil dari rahim dan perjuangan seorang ibu yang sangat aku banggakan, yang sangat aku kagumi dan menjadi seseorang yang menjadi panutan hidupku. Aku merupakan anak tunggal yang di besarkan dengan jerih payah, cucuran keringat dari seorang ibu yang bekerja keras sendiri, banting tulang tanpa mengenal lelah demi anak semata wayang nya yang masih sangat membebani dan belum bisa membuatnya bahagia. Ketika salah satu dari temanku bertanya “Kenapa tidak meminta adik baru?” deg! Sakit sangat sakit, aku harap kalian tahu keadaanku dulu sebelum bertanya! Ingin rasanya menangis dan terisak dengan keras di depan orang yang menanyakannya, Aku juga ingin mempunyai adik agar aku tidak kesepian, Aku juga sangat menginginkannya! Namun itu sesuatu hal yang mustahil untuk aku punya.
Untuk ayahku tercinta
            Ayah... Entah di manapun, siapapun, dan bagaimanapun keadaanmu, aku selalu berharap bahwa engkau bahagia dan selalu di beri kesehatan oleh Alloh SWT, Ayah, apakah ayah tahu bagaimana ibu selama ini banting tulang untuk ku? Bagaimana ibu yang semakin hari keriputnya bertambah dan itu sangat membuatku takut! Takut jika kelak ibu meninggalkanku lebih dulu, aku berharap Alloh mencabut nyawaku terlebih dahulu. Walaupun aku masih sangat berlumuran dosa, namun aku tidak sanggup jika ibu meninggalkanku, Aku masih menginginkan ibu menimang anak dariku dan bahagia bermain dengan cucu nya. Aku sangat takut ayah jika itu tidak dapat aku wujudkan.
Dunia ini terlalu menakutkan untuk ku jalani sendiri, aku selalu berharap bahwa Alloh selalu memberikan kesehatan untuk satu-satunya orang yang mencintaiku dengan tulus. Ayah, Aku juga sangat takut jika memikirkan siapa kelak yang akan menikahkanku? Siapa yang akan menjadi waliku? Aku sangat membutuhkanmu pada saat itu ayah. Ayah… di setiap foto kelulusanku tiga jenjang yang lalu hanya ada satu sosok keluarga yang selalu bersanding di sampingku, aku juga sangat iri dengan mereka yah, mereka berfoto dengan kakak, adik, ayah, bahkan kakek dan nenek mereka terkadang ikut berfoto ria bersama berbabagi suka. Ayah… Saat aku memasuki altar pemanggilan nama kelulusan di setiap jenjangnya, aku berharap sesekali aku mendengar namamu bersemat di sampingku ‘adinda rizka nur rofi’ah putra dari bapak…’ Aku sangat berharap suatu saat namamu berada tepat di belakangku ayah.
Ayah, aku kini sudah semester lima, sisa perjuangan kuliahpun semakin terasa. Sebentar lagi aku lulus yah, jadi apakah impian kecilku itu akan terwujudkan? Aku juga sangat tidak mengerti, aku juga bahkan tidak sanggup lagi memikirkan bagaimana foto kelulusanku kelak. Harapanku sekarang adalah semoga ibu selalu di beri kesehatan, selalu di lancarkan dan barokah rizqinya, Amin.. Semoga Alloh SWT selalu mengijabahi do’a ku kepada seorang yang selalu aku semogakan itu. Ayah.. Jika aku masih boleh mengadu aku juga iri dengan mereka, aku juga ingin merasakan ‘Seberapa hangat pelukanmu’ ‘Seberapa sabar engkau menghadapi tingkah polahku’ ‘Seberapa indah kenangan yang akan kita buat’ ‘Seberapa keras perjuanganmu untukku ’ Aku ingin mengetahui segalanya tentangmu ayah.
Masih banyak hal kecil yang ingin aku ungkapkan, cercaan pertanyaan yang ingin lontarkan, ribuan hal yang ingin aku lakukan denganmu yah. Semoga Alloh selalu memberikan kebahagiaan kepadamu yah, selalu memberikan rizqi yang barokah,dan kebahagiaan dengan keluargamu yang utuh itu yah. Aku berjanji akan menjaga ibu dan membuat beliau bahagia.
Untuk seseorang yang entah mengenalku atau tidak
Dari Anakmu Tercinta
Rizka Nur Rofi’ah
            Detik berganti dengan menit, menit berganti dengan jam, jam berganti dengan hari, hari berganti dengan bulan, bulan berganti dengan tahun, hingga saat itu aku yang tak kunjung mendapatkan jawaban ‘siapakah gerangan ayahku?’ Padahal keinginanku telah membuncah, berbagai hal ingin aku lakukan dengan beliau. Aku masih ingat bagaimana raport sekolahku yang tak pernah tertera nama seorang ayah sekalipun, jika kalian menanyakan ‘siapa nama yang tertera dalam kolom waliku selama ini?’ Seingatku nama wali pada kolom ayah di raport sekolahku itu selalu kosong, Tidak! Ibuku menuliskan nama kakek di kolom ayah mulai dari TK. Mulai saat itu nama kakek ku juga menjadi nama ayahku, namun setelah kakek meninggal pada saat aku kelas tiga madrasah ibtidaiyah, aku menuliskan kata ‘almarhum’ sebelum nama kakek ku. Sakit! Perih! Aku masih mempunyai ayah, namun kenapa selama ini aku harus menuliskan nama kakek?
            Aku yang masih lugu itu berusaha mencari tahu ‘siapa gerangan ayahku?’ ‘kenapa ibuku tak kunjung memberi tahuku?’, ‘apakah aku seseorang yang tak di inginkan untuk lahir di dunia ini?’ Perasaanku berkecambuk saat itu, aku sudah tidak tahan lagi. Dengan segala kepolosanku, mengumpulkan nyaliku yang ciut aku mendatangi seseorang adik bungsu dari ibuku yang biasa aku panggil dengan sebutan ‘ibu’. Aku mendatangi rumah beliau dan berharap mendapatkan jawaban yang aku inginkan, aku berjalan mendekati bibiku dengan terisak dan membuat beliau bingung, dan secara gambling aku bertanya
“Buk… Siapa ayahku?” mungkin perasaan bibiku saat itu seperti tertusuk oleh belati, aku masih ingat bagaimana penyesalan yang amat setelah melontarkan kata itu. Hingga sekarang ini, jika aku mengingatnya aku masih sangat menyesal. Jawaban yang aku dapat dari bulek saat itu “Tanyakan pada ibumu sendiri nduk” Aku sangat menyesal menanyakan itu pada bibiku, namun rasa penasaranku kian membuncah dan tidak dapat aku bending. Aku semakin bertanya-tanya ‘siapakah sebenarnya ayahku?’ ‘kenapa semua orang seakan menutupinya?’ Perasaanku kembali berkecambuk, namun keberanian untuk menanyakan kepada ibuku sendiripun aku tak punya, seingatku saat itu ‘aku tak ingin menyakiti perasaan ibuku’ itulah yang aku pegang hingga sekarang, aku tak ingin sama sekali menanyakan nya kepada ibuku, itu akan membuat ibuku sangat sedih.
Aku benar-benar menjadi pribadi yang pendiam, hampir tidak pernah bercerita dengan teman-teman, lebih memilih sendiri karena pada saat itu aku mempunyai perbedaan yang mencolok dari teman-teman yang lain. Aku juga masih ingat ketika aku bersedih aku selalu menuliskan ‘surat kecil untuk ayah’ dan aku lipat menjadi perahu dan setiap pulang sekolah aku selalu berhenti di sungai dekat rumahku dan melayarkan kapal kecil itu, tujuanku saat itu berharap ayahku membaca keluh kesahku saat itu.
Suatu hari entah kebetulan atau tidak, aku yang sudah hampir lupa bahwa aku tidak mempunyai ayah dan seingatku aku sudah memasuki jenjang sekolah menengah perama saat itu, saat berada di madrasah diniyah tempat aku biasa mengaji, guruku tiba-tiba menggambarkan dengan jelas bagaimana sosok ayahku, bagaimana keadaan beliau, siapa namanya. Ustadzahku saat itu berbicara di depan semua teman-temanku dan aku tidak tahu apa alasan ustadzahku saat itu bercerita mengenai ayahku di hadapan semua santrinya. Seingatku perasaanku saat itu sakit! amat sakit! perasaan senangpun tidak terlintas sama sekali.
“Kenapa ustadzahku bercerita didepan teman-temanku?” batinku perih. Aku hanya bersyukur karena aku mempunyai ayah, ternyata ayahku telah hidup bahagia dengan keluarganya, ternyata ayahku sehat, hanya sebatas perasaan lega yang mengisi batinku saat itu. perasaan bahagia tak terbesit sama sekali. Aku menjalani hari-hariku dengan biasa tanpa mengharapkan hangatnya pelukan ayah, kasih sayang seorang ayah karena selama ini aku hanya hidup berdua dengan ibu. Aku sudah amat sangat bahagia.
Perasaanku kembali goyah, aku yang mulai tumbuh dengan tubuh dan wajah yang mulai terbentuk menjadi sesosok wanita. Saat itu entah kebetulan atau tidak banyak dari mereka yang bertanya kepadaku “mbak… sampean ada keturunan darah arab ya?” aku masih tidak mengerti apa maksud mereka, namun aku hanya sesosok wanita jawa biasa yang mempunyai postur, dan bagian tubuh lain nya persis dengan orang-orang disekitarku, yakinku saat itu seperti itu. Setelah aku kuliah pertanyaan seperti itu semakin menjadi-jadi, aku hanya heran mereka selalu bertanya seperti itu mereka melihatku dari bagian mana. Hingga saat ini pertanyaan seperti itu masih saja terlontar.
Aku ingat sekarang, bibi bahkan ibuku sendiri sering bercerita mengenai Negara timur tengah itu. Mereka bernostalgia bagaimana jerih payah mereka ketika muda dahulu bekerja untuk majikan mereka disana, mulai dari makanan mereka, gaya hidup mereka dan semua hal mengenai negara itu. Deg! ‘Apa mungkin aku benar-benar anak yang tidak di inginkan?’ ‘Apa mungkin ayahku memang orang arab?’ ‘Apa mungkin ibuku menyembunyikan nya karena ibu tak sanggup memberitahuku yang sebenarnya?’ Tidak! Aku dengan sigapnya menepis berbagai lamunan omong kosong yang tidak masuk akal itu!
Ibuku orang yang baik, ibuku bukan orang seperti itu, aku percaya dengan apa yang pernah di ucapkan ustadzahku saat itu dan aku sangat percaya dengan ibuku. Aku punya trauma yang amat sangat mengenai sosok laki-laki, aku tidak pernah percaya dengan laki-laki yang katanya akan melindungi dan memberikan kasih sayang, omong kosong! Seingatku mereka hanya melepaskan tanggung jawab, dan memilih kebahagian nya sendiri. Persepsi buruk ku ini di perkuat dengan pengalamanku sendiri.
Aku tidak pernah tertarik sama sekali mengenai laki-laki, karena pengalaman pahit yang di alami ibuku. Trauma yang aku dapat sangat dalam hingga aku lulus dari aliyah aku tidak pernah terbesit untuk menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Hingga aku memasuki jenjang kuliah, teman-teman di sekitarku selalu menceritakan tentang laki-laki dan itu sangat membuatku muak dan tidak dapat merespon setiap cerita mereka. Ada beberapa sosok laki-laki yang mendekat, namun aku tidak tertarik sama sekali, sesekali menanggapi namun aku tidak dapat membuka hati lebih jauh.
            Seingatku saat itu aku berada pada liburan semester dua dan temanku mengenalkan salah satu teman sekelasnya kepadaku, seingatku pada saat itu aku mengecap sedikit rasa manis dan sisanya hanya rasa pahit, getir dan penuh penyesalan yang amat sangat. Iya benar, kami memutuskan untuk menjalin hubungan dengan nya namun hanya terhitung dua bulan, setelah semester tiga awal masuk kuliah hubungan kami berakhir. Dia mengakhiri hubungan kami dengan alasan bahwa ‘adzab yang akan kita terima nanti berat kalau kita terus menjalin hubungan di luar pernikahan’ Batinku saat itu, subhanallah aku benar-benar tepat memilih laki-laki ini dan kami bersepakat untuk mengakhiri hubungan kami.
            Setelah kami tak mempunyai ikatan seperti sebelumnya, aku mendengar hiruk pikuk dari teman-teman disekitarku. Mereka memberi tahuku bahwa lelaki itu ternyata telah kembali ke pelukan mantan kekasihnya dahulu, dan benar perempuan itu mengirimiku pesan peringatan untuk menjauhinya. Deg! ‘Bagaimana bisa ini terjadi?’ ‘Kenapa dia tega sekali?’ ‘Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku?’ Aku benar-benar tulus memberikan kasih sayangku saat itu, aku benar-benar sakit ketika yang di ucapkan nya hanya omong kosong semata dan itu membuat traumaku terhadap laki-laki semakin menjadi-jadi. Aku semakin tidak tertarik dengan laki-laki sebaik apapun itu, sepintar apapun dia, sesholeh apapun dia, aku tidak tertarik sama sekali.
            Nanguzubillahimindzalik, perasaanku terhadap laki-laki masih mati rasa sekarang, setelah rasa percayaku terhadap laki-laki menghilang begitu saja. Sampai waktunya tiba dan entah itu kapan aku akan berusaha membuka hatiku kembali. Namun menurutku ‘mati rasa’ yang aku miliki saat ini sangat aku syukuri, karena aku tidak perlu repot-repot iri dengan temanku yang mempunyai kekasih. Durhaka rasanya jika aku kembali menjalin hubungan dengan seseorang, sementara ibuku di rumah banting tulang untuk anak semata wayangnya.
            Alasan untuk bangkit dari hal buruk yang telah aku lakukan, berusaha mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik, alasan kenapa aku harus tetap melanjutkan hidup yang jauh lebih baik adalah beliau seorang. Iya Ibu, Seseorang yang entah dengan kata apapun tidak dapat kegambarkan karena perjuangan beliau yang tak pernah berhenti, seseorang yang aku kagumi, aku cinta dan sayangi lebih dari siapapun. Seseorang yang tanpa bosan mendengarkan ceritaku, seserang yang sangat menyayangiku lebih dari siapapun pula, seseorang yang dapat ku peluk manja dan mengadu semua hal.
            Aku tidak pernah ingin membayangkan seminggu saja tak bertemu beliau, tak melihat senyuman hangatnya, tak mendengar omelannya, pasti benar-benar sangat menyiksa. Seseorang yang masih bertingkah sangat kekanak-kanakan kepada ibunya, selalu bermanja ria, mengadukan semua hal dan aku sangat bahagia melakukan hal itu. Tidak ada orang yang lebih baik dari ibuku, seseorang yang selalu menjadi panutanku, dan semangat hidupku!
            Apapun yang  telah terjadi, sesuatu hal di masa lalu atau apapun itu! Aku tak ingin tahu sama sekali, dengan egoisnya aku berkata bahwa hidup kita sudah sangat bahagia tanpa siapapun lagi. Sekali lagi mengenai hal buruk  atau apapun di masa lalu mari kita lupakan seperti mimpi buruk yang harus di hapus ibu, kita harus merajutnya kembali dengan kenangan yang membahagiakan. Aku tidak akan menangisi seberapa buruk hal yang pernah terjadi di masa lalu, karena bangunan yang telah kita buat jauh lebih kuat dari pada masa lalu yang rapuh. Aku juga berjanji tidak akan iri kepada mereka yang jauh lebih bahagia dengan memamerkan keluarga mereka yang utuh.

“Terima kasih yang tak pernah habis aku sampaikan kepada ibuku tercinta yang telah mencurahkan segala cinta kasih dan juga perjuangan nya untukku, kepada dosen pengampu mata kuliah Penulisan Kreatif yang amat saya kagumi dan saya banggakan Bapak Habibur Rohman.”
Nama               : Rizka Nur Rofi;ah
NIM                : 1725143255
Kelas               : PGMI 5C

4 komentar:

  1. Awalnya saya berharap akan melewatkan hari Minggu dengan bermalas-malasan. Namun karena jenuh hanya menonton tv seharian, saya sempatkan membuka beberapa blog guna membaca tulisan yang para mahasiswa posting.Blog ini salah satunya. Dan sungguh saya tidak menyesal telah membuka dan membaca tulisan panjang yang sudah Mbak Riska buat.

    Tulisan yang sangat menarik. meski tergolong panjang (2000 kata lebih), saya sangat antusias membaca setiap paragraf tulisan diatas. Mbak Riska berhasil menjelaskan kepada pembaca bagaimana perasaan yang Mbak Riska rasakan selama ini.

    Menariknya, tulisan diatas tidak hanya menghadirkan kisah sendu semata, tetapi juga pemaknaan bagaimana penulis memaknai hidup. Meski menjalani jalan takdir yang tak biasa, penulis tetap bahagia denga segala hal yang Tuhan anugrahkan kepadanya. Sehingga pembaca tidak hanya sekadar sedih terbawa suasana, tapi juga mendapatkan wawasan baru bagaimana kita menjalani hidup.

    Namun ada beberapa paragraf yang kurang padu, cerita yang disampaikan tidak lagi fokus. Meski secara keseluruhan tulisan ini sangat menarik. Semoga penulis terus memperbanyak membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis adalah dua terapi hati yang luar biasa.
    Terima kasih.

    BalasHapus
  2. Terima kasih bapak atas semua saran yang bapak berikan, saya selalu berusaha memperbaiki tulisan saya dan memperbanyak membaca lagi. Terima kasih

    BalasHapus
  3. Bukan hanya sekedar sonsaengnim!! Lebih dari itu, jadilah lebih kuat dan semangat terus buat tul menulnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sonsaengnim kuat karena semangat yang teman-teman berikan, dan dari uri haksaengi yang selalu support sonsaengnim^^

      Hapus