Ketika
kuncup bunga yang tak sanggup lagi memekarkan kelopaknya
Mendung
yang kian enggan meneteskan hujan
Hingga
matahari tak sanggup lagi menerangi indahnya dunia
Bahkan
ketika tak ada satupun orang yang mampu menggenggam lembut tangaku
Aku yakin
engkau selalu berada disisiku, ibu…
Satu
hal kecil yang aku irikan dari orang lain yang berada di sekitarku bukan
mengenai bagaimana proporsional tubuh mereka, cantik wajahnya atau bahkan
kulitnya yang mulus bak lady Diana atau bahkan kecantikan mereka yang
mengalahkan Cleopatra. Bukan tentang hal yang menonjolkan fisik, atau gaya hidup
mereka yang mewah tanpa kekurangan apapun, Bukan! Aku sangat iri ketika mereka
menyinggung mengenai keluarga. Bagaimana tidak iri ketika mereka menceritakan
mengenai keluarga kecil mereka yang sangat bahagia, Menceritakan bagaimana
dekatnya mereka kepada ayahnya dan bermanja-manja ria dengan sang ayah,
bagaimana mereka saling berkeluh kesah dan mengadu kepada ibunya mengenai
adiknya yang luar biasa menyebalkan, namun saat berjauhan mereka saling
merindukan satu sama lain. Ah... Aku benar benar iri.
Jika kalian bertanya
padaku ‘apakah aku tidak bahagia?’ aku akan menjawabnya dengan lantang bahwa
aku sangat bahagia, Jika kalian masih bertanya ‘kenapa aku masih iri dan
bersedih mengenai keluarga orang lain?’ Aku tidak akan menjawabnya! Aku
berharap luka yang aku tanggung, perih yang aku rasakan, iri yang aku pendam
hanya aku yang mengetahuinya. Aku tidak mengerti bagaimana orang lain bisa
merasa dekat satu sama lain dengan menceritakan mengenai apapun tanpa sehelai
batas, benar-benar tidak masuk akal! Pertemenan mereka benar benar membuatku
takut, bagaimana tidak! Hal yang paling aku takutkan adalah ketika ada
orang-orang yang tidak dekat denganku dan entah mereka mencoba dekat denganku
atau apa, aku juga tidak mengerti. Namun mereka mencoba dekat denganku dan
mencercaku dengan menanyakan hal kecil mengenai ‘keluarga’. Hal yang sangat
membuatku takut! hal yang membuat jantungku berdebar sangat cepat, dan
membuatku sangat takut menjawab setiap pertanyaan dari mereka.
Aku terlahir dari keluarga
kecil dari rahim dan perjuangan seorang ibu yang sangat aku banggakan, yang
sangat aku kagumi dan menjadi seseorang yang menjadi panutan hidupku. Aku
merupakan anak tunggal yang di besarkan dengan jerih payah, cucuran keringat
dari seorang ibu yang bekerja keras sendiri, banting tulang tanpa mengenal
lelah demi anak semata wayang nya yang masih sangat membebani dan belum bisa
membuatnya bahagia. Ketika salah satu dari temanku bertanya “Kenapa tidak
meminta adik baru?” deg! Sakit sangat sakit, aku harap kalian tahu keadaanku
dulu sebelum bertanya! Ingin rasanya menangis dan terisak dengan keras di depan
orang yang menanyakannya, Aku juga ingin mempunyai adik agar aku tidak
kesepian, Aku juga sangat menginginkannya! Namun itu sesuatu hal yang mustahil
untuk aku punya.
Untuk ayahku tercinta
Ayah... Entah di
manapun, siapapun, dan bagaimanapun keadaanmu, aku selalu berharap bahwa engkau
bahagia dan selalu di beri kesehatan oleh Alloh SWT, Ayah, apakah ayah tahu
bagaimana ibu selama ini banting tulang untuk ku? Bagaimana ibu yang semakin
hari keriputnya bertambah dan itu sangat membuatku takut! Takut jika kelak ibu
meninggalkanku lebih dulu, aku berharap Alloh mencabut nyawaku terlebih dahulu.
Walaupun aku masih sangat berlumuran dosa, namun aku tidak sanggup jika ibu
meninggalkanku, Aku masih menginginkan ibu menimang anak dariku dan bahagia
bermain dengan cucu nya. Aku sangat takut ayah jika itu tidak dapat aku
wujudkan.
Dunia ini terlalu menakutkan untuk ku jalani sendiri, aku
selalu berharap bahwa Alloh selalu memberikan kesehatan untuk satu-satunya
orang yang mencintaiku dengan tulus. Ayah, Aku juga sangat takut jika
memikirkan siapa kelak yang akan menikahkanku? Siapa yang akan menjadi waliku?
Aku sangat membutuhkanmu pada saat itu ayah. Ayah… di setiap foto kelulusanku
tiga jenjang yang lalu hanya ada satu sosok keluarga yang selalu bersanding di
sampingku, aku juga sangat iri dengan mereka yah, mereka berfoto dengan kakak,
adik, ayah, bahkan kakek dan nenek mereka terkadang ikut berfoto ria bersama
berbabagi suka. Ayah… Saat aku memasuki altar pemanggilan nama kelulusan di
setiap jenjangnya, aku berharap sesekali aku mendengar namamu bersemat di
sampingku ‘adinda rizka nur rofi’ah putra dari bapak…’ Aku sangat berharap suatu saat namamu berada tepat di belakangku
ayah.
Ayah,
aku kini sudah semester lima, sisa perjuangan kuliahpun semakin terasa.
Sebentar lagi aku lulus yah, jadi apakah impian kecilku itu akan terwujudkan?
Aku juga sangat tidak mengerti, aku juga bahkan tidak sanggup lagi memikirkan
bagaimana foto kelulusanku kelak. Harapanku sekarang adalah semoga ibu selalu
di beri kesehatan, selalu di lancarkan dan barokah rizqinya, Amin.. Semoga
Alloh SWT selalu mengijabahi do’a ku kepada seorang yang selalu aku semogakan
itu. Ayah.. Jika aku masih boleh mengadu aku juga iri dengan mereka, aku juga
ingin merasakan ‘Seberapa hangat pelukanmu’ ‘Seberapa sabar engkau menghadapi
tingkah polahku’ ‘Seberapa indah kenangan yang akan kita buat’ ‘Seberapa keras
perjuanganmu untukku ’ Aku ingin mengetahui segalanya tentangmu ayah.
Masih
banyak hal kecil yang ingin aku ungkapkan, cercaan pertanyaan yang ingin
lontarkan, ribuan hal yang ingin aku lakukan denganmu yah. Semoga Alloh selalu
memberikan kebahagiaan kepadamu yah, selalu memberikan rizqi yang barokah,dan
kebahagiaan dengan keluargamu yang utuh itu yah. Aku berjanji akan menjaga ibu
dan membuat beliau bahagia.
Untuk seseorang yang entah mengenalku atau tidak
Dari Anakmu Tercinta
Rizka Nur Rofi’ah
Detik
berganti dengan menit, menit berganti dengan jam, jam berganti dengan hari,
hari berganti dengan bulan, bulan berganti dengan tahun, hingga saat itu aku
yang tak kunjung mendapatkan jawaban ‘siapakah gerangan ayahku?’ Padahal
keinginanku telah membuncah, berbagai hal ingin aku lakukan dengan beliau. Aku
masih ingat bagaimana raport sekolahku yang tak pernah tertera nama
seorang ayah sekalipun, jika kalian menanyakan ‘siapa nama yang tertera dalam
kolom waliku selama ini?’ Seingatku nama wali pada kolom ayah di raport
sekolahku itu selalu kosong, Tidak! Ibuku menuliskan nama kakek di kolom ayah
mulai dari TK. Mulai saat itu nama kakek ku juga menjadi nama ayahku, namun
setelah kakek meninggal pada saat aku kelas tiga madrasah ibtidaiyah, aku
menuliskan kata ‘almarhum’ sebelum nama kakek ku. Sakit! Perih! Aku masih
mempunyai ayah, namun kenapa selama ini aku harus menuliskan nama kakek?
Aku
yang masih lugu itu berusaha mencari tahu ‘siapa gerangan ayahku?’ ‘kenapa
ibuku tak kunjung memberi tahuku?’, ‘apakah aku seseorang yang tak di inginkan
untuk lahir di dunia ini?’ Perasaanku berkecambuk saat itu, aku sudah tidak
tahan lagi. Dengan segala kepolosanku, mengumpulkan nyaliku yang ciut aku
mendatangi seseorang adik bungsu dari ibuku yang biasa aku panggil dengan
sebutan ‘ibu’. Aku mendatangi rumah beliau dan berharap mendapatkan jawaban
yang aku inginkan, aku berjalan mendekati bibiku dengan terisak dan membuat
beliau bingung, dan secara gambling aku bertanya
“Buk… Siapa
ayahku?” mungkin perasaan bibiku saat itu seperti tertusuk oleh belati, aku
masih ingat bagaimana penyesalan yang amat setelah melontarkan kata itu. Hingga
sekarang ini, jika aku mengingatnya aku masih sangat menyesal. Jawaban yang aku
dapat dari bulek saat itu “Tanyakan pada ibumu sendiri nduk” Aku sangat
menyesal menanyakan itu pada bibiku, namun rasa penasaranku kian membuncah dan
tidak dapat aku bending. Aku semakin bertanya-tanya ‘siapakah sebenarnya
ayahku?’ ‘kenapa semua orang seakan menutupinya?’ Perasaanku kembali
berkecambuk, namun keberanian untuk menanyakan kepada ibuku sendiripun aku tak
punya, seingatku saat itu ‘aku tak ingin menyakiti perasaan ibuku’ itulah yang
aku pegang hingga sekarang, aku tak ingin sama sekali menanyakan nya kepada
ibuku, itu akan membuat ibuku sangat sedih.
Aku benar-benar
menjadi pribadi yang pendiam, hampir tidak pernah bercerita dengan teman-teman,
lebih memilih sendiri karena pada saat itu aku mempunyai perbedaan yang
mencolok dari teman-teman yang lain. Aku juga masih ingat ketika aku bersedih
aku selalu menuliskan ‘surat kecil untuk ayah’ dan aku lipat menjadi perahu dan
setiap pulang sekolah aku selalu berhenti di sungai dekat rumahku dan
melayarkan kapal kecil itu, tujuanku saat itu berharap ayahku membaca keluh
kesahku saat itu.
Suatu hari
entah kebetulan atau tidak, aku yang sudah hampir lupa bahwa aku tidak mempunyai
ayah dan seingatku aku sudah memasuki jenjang sekolah menengah perama saat itu,
saat berada di madrasah diniyah tempat aku biasa mengaji, guruku tiba-tiba
menggambarkan dengan jelas bagaimana sosok ayahku, bagaimana keadaan beliau,
siapa namanya. Ustadzahku saat itu berbicara di depan semua teman-temanku dan
aku tidak tahu apa alasan ustadzahku saat itu bercerita mengenai ayahku di
hadapan semua santrinya. Seingatku perasaanku saat itu sakit! amat sakit!
perasaan senangpun tidak terlintas sama sekali.
“Kenapa
ustadzahku bercerita didepan teman-temanku?” batinku perih. Aku hanya bersyukur
karena aku mempunyai ayah, ternyata ayahku telah hidup bahagia dengan
keluarganya, ternyata ayahku sehat, hanya sebatas perasaan lega yang mengisi
batinku saat itu. perasaan bahagia tak terbesit sama sekali. Aku menjalani
hari-hariku dengan biasa tanpa mengharapkan hangatnya pelukan ayah, kasih
sayang seorang ayah karena selama ini aku hanya hidup berdua dengan ibu. Aku
sudah amat sangat bahagia.
Perasaanku
kembali goyah, aku yang mulai tumbuh dengan tubuh dan wajah yang mulai terbentuk
menjadi sesosok wanita. Saat itu entah kebetulan atau tidak banyak dari mereka
yang bertanya kepadaku “mbak… sampean ada keturunan darah arab ya?” aku masih
tidak mengerti apa maksud mereka, namun aku hanya sesosok wanita jawa biasa
yang mempunyai postur, dan bagian tubuh lain nya persis dengan orang-orang
disekitarku, yakinku saat itu seperti itu. Setelah aku kuliah pertanyaan
seperti itu semakin menjadi-jadi, aku hanya heran mereka selalu bertanya
seperti itu mereka melihatku dari bagian mana. Hingga saat ini pertanyaan
seperti itu masih saja terlontar.
Aku ingat
sekarang, bibi bahkan ibuku sendiri sering bercerita mengenai Negara timur
tengah itu. Mereka bernostalgia bagaimana jerih payah mereka ketika muda dahulu bekerja
untuk majikan mereka disana, mulai dari makanan mereka, gaya hidup mereka dan
semua hal mengenai negara itu. Deg! ‘Apa mungkin aku benar-benar anak yang
tidak di inginkan?’ ‘Apa mungkin ayahku memang orang arab?’ ‘Apa mungkin ibuku
menyembunyikan nya karena ibu tak sanggup memberitahuku yang sebenarnya?’
Tidak! Aku dengan sigapnya menepis berbagai lamunan omong kosong yang tidak
masuk akal itu!
Ibuku orang yang baik, ibuku bukan orang seperti itu, aku
percaya dengan apa yang pernah di ucapkan ustadzahku saat itu dan aku sangat
percaya dengan ibuku. Aku punya trauma yang amat sangat mengenai sosok
laki-laki, aku tidak pernah percaya dengan laki-laki yang katanya akan
melindungi dan memberikan kasih sayang, omong kosong! Seingatku mereka hanya
melepaskan tanggung jawab, dan memilih kebahagian nya sendiri. Persepsi buruk
ku ini di perkuat dengan pengalamanku sendiri.
Aku tidak pernah tertarik sama sekali mengenai laki-laki,
karena pengalaman pahit yang di alami ibuku. Trauma yang aku dapat sangat dalam
hingga aku lulus dari aliyah aku tidak pernah terbesit untuk menjalin hubungan
dengan seorang laki-laki. Hingga aku memasuki jenjang kuliah, teman-teman di
sekitarku selalu menceritakan tentang laki-laki dan itu sangat membuatku muak
dan tidak dapat merespon setiap cerita mereka. Ada beberapa sosok laki-laki
yang mendekat, namun aku tidak tertarik sama sekali, sesekali menanggapi namun
aku tidak dapat membuka hati lebih jauh.
Seingatku saat itu aku
berada pada liburan semester dua dan temanku mengenalkan salah satu teman
sekelasnya kepadaku, seingatku pada saat itu aku mengecap sedikit rasa manis
dan sisanya hanya rasa pahit, getir dan penuh penyesalan yang amat sangat. Iya
benar, kami memutuskan untuk menjalin hubungan dengan nya namun hanya terhitung
dua bulan, setelah semester tiga awal masuk kuliah hubungan kami berakhir. Dia
mengakhiri hubungan kami dengan alasan bahwa ‘adzab yang akan kita terima nanti
berat kalau kita terus menjalin hubungan di luar pernikahan’ Batinku saat itu,
subhanallah aku benar-benar tepat memilih laki-laki ini dan kami bersepakat
untuk mengakhiri hubungan kami.
Setelah kami tak mempunyai
ikatan seperti sebelumnya, aku mendengar hiruk pikuk dari teman-teman
disekitarku. Mereka memberi tahuku bahwa lelaki itu ternyata telah kembali ke
pelukan mantan kekasihnya dahulu, dan benar perempuan itu mengirimiku pesan
peringatan untuk menjauhinya. Deg! ‘Bagaimana bisa ini terjadi?’ ‘Kenapa dia
tega sekali?’ ‘Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku?’ Aku benar-benar tulus
memberikan kasih sayangku saat itu, aku benar-benar sakit ketika yang di
ucapkan nya hanya omong kosong semata dan itu membuat traumaku terhadap
laki-laki semakin menjadi-jadi. Aku semakin tidak tertarik dengan laki-laki
sebaik apapun itu, sepintar apapun dia, sesholeh apapun dia, aku tidak tertarik
sama sekali.
Nanguzubillahimindzalik,
perasaanku terhadap laki-laki masih mati rasa sekarang, setelah rasa percayaku
terhadap laki-laki menghilang begitu saja. Sampai waktunya tiba dan entah itu
kapan aku akan berusaha membuka hatiku kembali. Namun menurutku ‘mati rasa’
yang aku miliki saat ini sangat aku syukuri, karena aku tidak perlu repot-repot
iri dengan temanku yang mempunyai kekasih. Durhaka rasanya jika aku kembali
menjalin hubungan dengan seseorang, sementara ibuku di rumah banting tulang
untuk anak semata wayangnya.
Alasan untuk bangkit dari
hal buruk yang telah aku lakukan, berusaha mengubah diri menjadi pribadi yang
lebih baik, alasan kenapa aku harus tetap melanjutkan hidup yang jauh lebih
baik adalah beliau seorang. Iya Ibu, Seseorang yang entah dengan kata apapun
tidak dapat kegambarkan karena perjuangan beliau yang tak pernah berhenti,
seseorang yang aku kagumi, aku cinta dan sayangi lebih dari siapapun. Seseorang
yang tanpa bosan mendengarkan ceritaku, seserang yang sangat menyayangiku lebih
dari siapapun pula, seseorang yang dapat ku peluk manja dan mengadu semua hal.
Aku tidak pernah ingin
membayangkan seminggu saja tak bertemu beliau, tak melihat senyuman hangatnya,
tak mendengar omelannya, pasti benar-benar sangat menyiksa. Seseorang yang
masih bertingkah sangat kekanak-kanakan kepada ibunya, selalu bermanja ria,
mengadukan semua hal dan aku sangat bahagia melakukan hal itu. Tidak ada orang
yang lebih baik dari ibuku, seseorang yang selalu menjadi panutanku, dan
semangat hidupku!
Apapun yang telah terjadi, sesuatu hal di masa lalu atau
apapun itu! Aku tak ingin tahu sama sekali, dengan egoisnya aku berkata bahwa
hidup kita sudah sangat bahagia tanpa siapapun lagi. Sekali lagi mengenai hal
buruk atau apapun di masa lalu mari kita
lupakan seperti mimpi buruk yang harus di hapus ibu, kita harus merajutnya
kembali dengan kenangan yang membahagiakan. Aku tidak akan menangisi seberapa buruk
hal yang pernah terjadi di masa lalu, karena bangunan yang telah kita buat jauh
lebih kuat dari pada masa lalu yang rapuh. Aku juga berjanji tidak akan iri
kepada mereka yang jauh lebih bahagia dengan memamerkan keluarga mereka yang
utuh.
“Terima kasih yang tak pernah habis aku
sampaikan kepada ibuku tercinta yang telah mencurahkan segala cinta kasih dan
juga perjuangan nya untukku, kepada dosen pengampu mata kuliah Penulisan
Kreatif yang amat saya kagumi dan saya banggakan Bapak Habibur Rohman.”
Nama :
Rizka Nur Rofi;ah
NIM :
1725143255
Kelas :
PGMI 5C
Awalnya saya berharap akan melewatkan hari Minggu dengan bermalas-malasan. Namun karena jenuh hanya menonton tv seharian, saya sempatkan membuka beberapa blog guna membaca tulisan yang para mahasiswa posting.Blog ini salah satunya. Dan sungguh saya tidak menyesal telah membuka dan membaca tulisan panjang yang sudah Mbak Riska buat.
BalasHapusTulisan yang sangat menarik. meski tergolong panjang (2000 kata lebih), saya sangat antusias membaca setiap paragraf tulisan diatas. Mbak Riska berhasil menjelaskan kepada pembaca bagaimana perasaan yang Mbak Riska rasakan selama ini.
Menariknya, tulisan diatas tidak hanya menghadirkan kisah sendu semata, tetapi juga pemaknaan bagaimana penulis memaknai hidup. Meski menjalani jalan takdir yang tak biasa, penulis tetap bahagia denga segala hal yang Tuhan anugrahkan kepadanya. Sehingga pembaca tidak hanya sekadar sedih terbawa suasana, tapi juga mendapatkan wawasan baru bagaimana kita menjalani hidup.
Namun ada beberapa paragraf yang kurang padu, cerita yang disampaikan tidak lagi fokus. Meski secara keseluruhan tulisan ini sangat menarik. Semoga penulis terus memperbanyak membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis adalah dua terapi hati yang luar biasa.
Terima kasih.
Terima kasih bapak atas semua saran yang bapak berikan, saya selalu berusaha memperbaiki tulisan saya dan memperbanyak membaca lagi. Terima kasih
BalasHapusBukan hanya sekedar sonsaengnim!! Lebih dari itu, jadilah lebih kuat dan semangat terus buat tul menulnya
BalasHapusSonsaengnim kuat karena semangat yang teman-teman berikan, dan dari uri haksaengi yang selalu support sonsaengnim^^
Hapus